Belum lama ini sekitar hampir 900 orang warga belanda mengajukan
tuntutan resmi ke pengadilan di Den Haag. Warga Belanda menuntut pemerintahnya
sendiri karena dinilai sejauh ini belum berhasil melakukan langkah-langkah yang
melindungi masyarakatnya dari kerusakan akibat fenomena perubahan iklim.
Berdasarkan aturan The Intergovernental
Panel of Climate Change (IPCC), negara-negara berkembang (Belanda termasuk
penyumbang emisi per kapita terbesar) harus mengurangi emisi karbon dioksida di
level 1990, sementara saat ini emisi berada di level 2010. Pengadilan menetapkan
agar pemerintah harus mengambil kebijakan demi mengurangi emisi hingga 25%
dalam lima tahun ke depan untuk melindungi warganya dari ancaman bencana akibat
perubahan iklim. Dalam implementasinya, pemerintah telah setuju menutup tambang
batu bara, menambah jumlah penggunaan kincir angin dan energi matahari serta
mengurangi tambang gas bumi di belahan utara Belanda. Keberhasilan warga
belanda yang menang di pengadilan ini merupakan kasus pertama di dunia. Semangat
warga Belanda untuk memperjuangkan kepentingan publik menjadi salah satu
pembelajaran yang sangat berharga bagi seluruh masyarakat di dunia. Kesadaran
akan persoalan perubahan iklim dan akibatnya pada keberlangsungan kehidupan
merupakan salah satu peran penting masyarakat dalam pembangunan. Apabila
masyarakat Belanda tidak menyadari pentingnya pengurangan emisi, maka tidak
akan ada tuntutan yang dilakukan kepada pemerintah Belanda. Apabila tuntutan
tersebut tidak dilakukan, maka pemerintah Belanda tidak akan mengupayakan untuk
mengatasi persoalan perubahan iklim yang dampak buruknya justru nanti akan
dirasakan oleh seluruh masyarakat. Oleh karena itu, perlu kita sadari bahwa
masyarakat harus paham dengan kebijakan pembangunan di daerahnya untuk dapat
mendukung terjadinya pembangunan inklusif.
Pembanguan inklusif secara umum diartikan sebagai kebalikan dari
pembangunan eksklusif di mana pembangunan yang terjadi mementingkan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, tidak hanya menguntungkan kelompok
tertentu saja. Pembangunan inklusif ini menjadi penting karena realita
pembangunan nasional yang masih terasa berat sebelah, salah satu contohnya
adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak sepenuhnya dinikmati oleh seluruh
lapisan masyarakat apabila kita telusuri lebih mendalam. Berdasarkan informasi
dari Bank Dunia, dalam rentang tahun 1999 hingga 2012 tingkat kemiskinan di
Indonesia telah berkurang separuh dari 24 persen menjadi 12 persen, namun
koefisien Gini (pengukuran ketimpangan nasional) naik dari 0,32 pada tahun 1999
menjadi 0,41 pada tahun 2012. Pembangunan yang belum merata ini juga terus
berlangsung seiring dengan berlakunya kebijakan desentralisasi (otonomi daerah)
di Indonesia sejak tahun 1999 yang membuat setiap daerah mempunyai kewenangan
penuh untuk membangun daerahnya sendiri. Arah pembangunan pun yang tadinya menggunakan
pendekatan top-down menjadi
pendekatan bottom-up. Bottom-up disini
berarti pembangunan yang lebih memperhatikan kebutuhan wilayah dari lingkup
yang lebih kecil (skala lokal) lalu disesuaikan ke lingkup yang lebih besar
(skala nasional). Kebijakan otonomi daerah pada dasarnya dimaksudkan agar
pemerintah lebih dekat kepada masyarakat dalam merumuskan kebijakan serta agar
pembiayaan kepentingan publik dapat lebih efektif dan efisien. Namun sayangnya
kebijakan ini masih dirasa belum maksimal karena paradigma kita yang masih
sulit untuk keluar dari bentuk pemerintahan sentralisasi, sehingga pada
akhirnya otonomi ini justru memunculkan raja-raja kecil pada tingkat daerah.
Masyarakat yang belum begitu paham akan tujuan desentralisasi yang harusnya
membawa kesejahteraan bagi mereka pada akhirnya menjadi korban ketidakadilan.
Peran masyarakat dalam
pembangunan inklusif
Masyarakat pada dasarnya merupakan salah satu aktor penting
dalam pembangunan, dimana masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam proses
pengambilan keputusan. Masyarakat perlu aktif berpartisipasi karena masyarakat seharusnya
mengetahui secara pasti kemana arah pembangunan negaranya. Dengan adanya
partisipasi aktif dari masyarakat, arah pembangunan akan menjadi lebih
memperhatikan kepentingan publik. Selain itu, partisipasi masyarakat terhadap
pelaksanaan kebijakan juga merupakan proses serta wujud partisipasi politik
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu peran serta
masyarakat dalam merumuskan perencanaan daerah yaitu melalui mekanisme Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Musrenbang merupakan sebuah mekanisme
yang menjadi wadah dalam mempertemukan apa yang dibutuhkan masyarakat dan
bagaimana Pemerintah merespon kebutuhan masyarakat. Namun, sejauh ini Musrenbang
nyatanya seringkali hanya menjadi “ritual” tahunan, atau sekadar kegiatan formalitas
yang harus dilakukan pemerintah. Keterlibatan masyarakat masih sangat kurang dan
terkadang didominasi wajah yang sama dari tahun ke tahun. Akibatnya, perencanaan
program tidak mendapat gagasan variatif dari pelaksanaan musrenbang
tersebut. Sehingga perlu disadari bahwa tingkat kesadaran hukum dan
kesadaran masyarakat dalam berpartisipasi dalam proses perumusan perencanaan
pembangunan akan mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. The Oregon Citizen Involvement Advisory
Commitee (CIAC) mendefinisikan partisipasi masyarakat dalam perencanaan
pembangunan sebagai berikut:
Citizen involvement means participation in
planning by people who are not professional planners or government officials.
It is a process through which everyday people help create local comprehensive
plans and land use regulations, and use them to answer day-to-day questions
about land use. It is citizens participating in the planning and
decision-making which affect their community.
Pentingnya partisipasi publik disampaikan pula dalam
Undang-Undang Dasar 1945 Bab 1 pasal 1 yang berbunyi, “kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” serta pasal 28C
yang berbunyi, “setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negara”. Sebagai pihak yang paling terkena akibat dari pembangunan dan
pemanfaatan ruang, masyarakat sudah seharusnya terlibat dalam seluruh prosesnya
agar tidak terkena berbagai tekanan dan paksaan pembangunan yang telah
dilegitimasi oleh birokrasi yang seringkali tidak dipahami. Upaya untuk
mendukung pelibatan masyarakat dalam pembangunan salah satunya telah tertuang
dalam Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2010 yang menjabarkan bentuk dan tata
cara peran masyarakat dalam penataan ruang. Masyarakat dapat memberikan masukan
dalam proses penyusunan rencana tata ruang, memberikan masukan kebijakan
pemanfaatan ruang dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang (seperti arahan
zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, dan pengenaan sanksi,
serta dapat memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana tata ruang yang telah
ditetapkan. Bentuk partisipasi masyarakat dalam penataan ruang tersebut dapat
disampaikan secara langsung kepada kepala daerah antara lain melalui forum
pertemuan, konsultasi, komunikasi dan kerja sama atau secara tertulis melalui
surat, SMS, laman (website), email, dan wadah pengaduan.
Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang sudah
mulai mendorong partisipasi aktif warganya dalam pembangunan daerah. Pada Bulan
Maret lalu Walikota Bandung, Ridwan Kamil meluncurkan Program Inovasi
Pembangunan dan Pemberdayaan Kewilayahan (PIPPK). Program percepatan
pembangunan ini dirancang melibatkan langsung partisipasi masyarakat melalui
lembaga kemasyarakatan Rukun Warga (RW), Karang Taruna, Tim Penggerak PKK, dan
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Tujuan pelaksanaan PIPPK sendiri yaitu,
untuk mewujudkan sinergitas kinerja aparatur kewilayahan dengan lembaga
kemasyarakatan kelurahan dalam melaksanakan PIPPK berbasis pada pemberdayaan
masyarakat. Selain itu, Pemerintah Kota Bandung juga mendorong warganya untuk
aktif mengawasi penggunaan anggaran serta meningkatkan partisipasi masyarakat
untuk mengawasi pembangunan melalui wadah pengaduan online yang tersedia
seperti website resmi Pemerintah Kota
Bandung ataupun melalui twitter yang
dikelola sendiri oleh Walikota. Program peningkatan partisipasi tersebut pun disambut
baik oleh warga Bandung, sehingga jadi lebih peduli dengan pembangunan daerahnya.
Respon baik melalui partisipasi aktif pun juga ditunjukkan dengan banyaknya
warga yang ikut serta dalam kerja bakti yang diadakan Pemerintah serta banyaknya
organisasi-organisasi lokal yang bekerja sama dengan Pemerintah Kota Bandung. Meskipun
masih terdapat pro dan kontra terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Ridwan
Kamil, namun usaha beliau untuk mendorong pembangunan yang menghargai pandangan
warganya demi tercapainya kota yang ideal bagi warganya sangat perlu
diapresiasi. Upaya tersebut merupakan langkah awal menuju pembangunan inklusif,
dimana pentingnya menimbulkan kesadaran akan isu-isu pembangunan dan meningkatkan
partisipasi seluruh pemangku kepentingan dalam merumuskan perencanaan
pembangunan serta memantau keberjalanannya.
No comments:
Post a Comment